Selasa, 18 November 2008

SEKELUMIT TENTANG MAHASISWA ”DIA” DAN KNOWLEDGE

Oleh : Muhamad Haris *

Seiring perkembangan zaman, banyak manusia menganggap bahwa ilmu pengetahuan (knowledge) adalah salah satu kebutuhan determinan. Dengan ilmu pengetahuan manusia sedapat mungkin berperan aktif dalam menjalani dinamika kehidupan dunia ini. Oleh karena itu, manusia terus mencoba berusaha bagaimana ilmu pengetahuan itu bisa di dapat ; yang seperti kata pepatah ” Carilah Ilmu Sampai Ke Negeri Cina”. Pada zaman modern ini, sudah banyak berdiri lembaga-lembaga pendidikan yang di dibangun sebagai sarana untuk mencari ilmu pengetahuan. Dengan adanya fasilitas tersebut, mereka yang ingin belajar akan masuk dalam lembaga tersebut misalnya, sebuah Perguruan Tinggi. Nah, apa yang sebenarnya dialami oleh para pencari ilmu jika cita-citanya terhalang oleh faktor yang kurang begitu meyenangkan? Mari kita urai cerita pagi geliat mahasiswa sebagai ”pencari ilmu”.

Menjelang penerimaan mahasiswa baru dalam sebuah Perguruan Tinggi, mereka yang optimis ingin mencari ilmu pengetahuan akan mendaftarkan diri di lembaga tersebut dengan berbagai persyaratan, seperti mengikuti ujian tulis dan ujian lisan. Dari sinilah dengan membawa semangat belajar, mereka berusaha menjawab soal-soal semaksimal mungkin agar nantinya bisa diterima dan menimba ilmu di lembaga tersebut. Setelah mereka lulus tes, merekapun bisa berproses di lembaga tersebut. Dan ketika masa perkuliahan sudah dimulai, mereka sebagai mahasiswa datang ke kampus, masuk ruang dan berharap akan mendapatkan ilmu pengetahuan yang baru.

Dalam siklus proses mahasiswa yang sedikit melankolis di atas, mahasiswa sudah banyak menabung harapan di otak, bahwa pada suatu saat mereka akan lulus menjadi sarjana. Sarjana yang ketika kembali hidup bermasyarakat akan dijadikan panutan oleh masyarakat, sarjana yang dianggap sebagai figur yang penuh dengan wawasan yang luas, dan berharap ilmu yang dimilikinya akan bermanfaat bagi masyarakat.

Namun, pemegang otoritas pendidikan di negara ini sepertinya berkehendak lain. Perilaku mahasiswa di kampus ternyata masih jauh dari kenyataan. Mahasiswa hanya menjadi kelinci percobaan ranah kognitif saja tanpa kemudian dididik dengan pedagogi transformatif yang penuh dengan sentuhan afektif dan psikomotik. Mahasiswa hanya dibebani tugas-tugas formalis dan verbal, tanpa mempertimbangkan apa efektifitasnya. Sementara itu, mahasiswa juga santai dalam menyikapi realitasnya. Seperti terbuai oleh cerita sinetron yang episode-nya tak kunjung selesai.

Dengan demikian, pertanyaan yang patut kita carikan solusinya adalah apakah mahasiswa hanya akan menjadi pendengar setia seorang dosen karena khawatir dengan ancaman-ancaman nilai yang tidak di inginkan? Pertanyaan-pertanyaan tersebut muncul dengan dalih bahwa realitas mahasiswa tidak lagi menunjukkan wajah aslinya, yakni sebagai intelektual yang kritis terhadap ketimpangan yang terus menggurita. Bahkan mahasiswa hanya di sibukkan dengan segudang tugas yang diberikandosen, mulai dari pembuatan makalah, tugas individu dan lain sebagainya. Sehinga yang terjadi adalah, kesadaran naif (naif consciousness). Mahasiswa seolah-olah terhipnotis dan terbelenggu oleh tugas-tugas yang wajib dilahap habis. Belum lagi, disaat harus melakukan ”sandiwara” presentasi di kelas, selain banyak membuang waktu dengan berargumentasi yang kurang proporsional juga, hanya menghasilkan kesan ”sing penting ngomong”.

Hal demikian terlihat jelas, dengan keadaan pemateri, waktu yang disediakan kurang memenuhi, kadang kala satu kelempok terdiri dari enam orang dan sekedar berpresentasi hanya membaca teks makalah yang telah dibuat atau boleh dibilang ”senam lidah” saja. Perilaku sandiwara yang tak ubahnya Pildacil tersebut terjadi bertahun-tahun di Perguruan Tinggi kita. Kompleksitas keruwetan itu semakin lengkap dengan hadirnya tokoh tambahan yaitu ”dosen” yang kurang begitu memperhatikan proses anak didiknya. Bahkan tragisnya, tidak jarang dosen itu tidur ketika mahasiswa sedang presentasi. Sehingga diskusi kelompok pun tidak ubahnya ceremonial harian, bahkan dosen terkadang apatis dengan makalah yang disajikan mahasiswa, apakah makalah tersebut benar-benar di buat oleh mahasiswanya atau hanya hasil hunting di internet. Hal ini yang menjadikan proses belajar-mengajar menjadi bias.

Memang, penugasan seperti itu sudah menjadi konskuensi logis untuk mahasiswa itu sendiri. Sebab, mahasiswa diarahkan kepada proses pendewasaan dengan berfikiran luas, dinamis, kreatif, dan profesional yang sesuai dengan tri dharma perguruan tinggi. Tapi, mbok yo..ho...., mahasiswa serta dosen itu berani menciptakan situasi belajar yang kondusif. Pola belajar yang berimbang dan penuh dengan dinamika keilmuan. Bukan parade cerita atau logika perdebatan benar-salah. Disatu pihak, dosen yang dimandat sebagai pengampu harusnya benar-benar mampu dalam segi keilmuan, serta berani mengeluarkan argumentasi strategis demi tujuan mendinamisir forum. Dipihak lain, mahasiwa harus banyak membaca materi jauh sebelum melakukan presentasi. Dengan demikian, situasi belajar akan mencapai satu sintesa kritis serta hubungan mahasiswa-dosen yang dinamis.

Metode ini sudah lama disuarakan oleh tokoh pendidikan dan sosiolog perancis Pierre Bourdieu dalam The Homo Academicus. Proses pendidikan niscaya dapat meminimalisir penindasan-penindasan pola pikir dan normatifitas sikap. Artinya, menjustifikasi benar sendiri atau mendiskriditkan pendapat orang lain itu sama dengan kekerasan simbolik (simbolic veolince). Jadi dalam hal ini posisi mahasiswa dan dosen seharusnya sama dalam berusaha mencari sintesa pengetahuan di dalam kelas. Dosen tidak boleh mentang-mentang karena sudah dimandat sebagai pengampu atau tangan panjang lembaga. Mahasiswa juga tidak boleh ngawur dalam berdebat atau berargumentasi. Biar dasar literatur juga ada dan argumentasinya tidak cepres kabeh. Terus piye???

* Adalah mahasiswa semester III Tarbiyah, PAI dan orang

yang resah dengan proses belajar mengajar di kampus.

Tidak ada komentar: