Kamis, 24 Desember 2009

Mereka-Mereka Yang Sedang Berlatih Menjadi Pemimpin Umat dan Bangsa…

Sungguh merupakan amanah yang sangat besar untuk menjadi seorang pemimpin. Fitrah manusia memang didesain menjadi pemimpin, meski ketidaksempurnaan itu melekat pada seorang pemimpin. Untuk menjadi pemimpin umat dan bangsa tentunya harus menjadi pemimpin di lingkup kecil terlebih dahulu. Mereka-mereka yang sedang berlatih menjadi pemimpin umat dan bangsa di masa yang akan datang, adalah sebagai berikut :

1. Imam Ghozali
Proses organisasi yang dinamis, akhirnya Saudara Imam Ghozali terpilih menjadi orang nomor satu di Ikatan Mahasiswa Ronggolawe (IMARO) Tuban IAIN Sunan Ampel periode 2009-2010 dalam Forum Tahunan Anggota (FORTA) IMARO Tuban IAIN Sunan Ampel dengan 38 suara, bertempat di Kebon Sari Gang 5 Surabaya pada hari Sabtu, tanggal 30 Mei 2009.

2. M. Faid Walhakim
Amanat perkaderan di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Surabaya Komisariat Tarbiyah Sunan Ampel periode 2009-2010 diserahkan kepada Saudara M. Faid Walhakim dengan mengantongi 40 suara, melalui Rapat Anggota Komisariat (RAK) pada hari Selasa, 16 Juni 2009 pukul 03.20 di gedung STAI Rewwin Sidoarjo.

3. Irsyadul Ibab
Demi dinamisasi roda kepengurusan, Saudara Irsyadul Ibad terpilih dengan suara 25 dalam forum Laporan Pertanggung Jawaban (LPJ) Paduan Suara Mahasiswa (PSM) IAIN Sunan Ampel Surabaya, Rabu, 24 Juni 2009 21:45 gedung Rektorat IAIN Sunan Ampel Lt. 1

4. Ubaidillah Mahmud
Diamanati untuk menjadi orang nomor satu di Forum Komunikasi Mahasiswa Bojonegoro (FKMB) periode 2009-2010, dengan 15 suara dalam forum Musyawarah Tahunan (MUSTA) pada hari Sabtu, 27 Juni 2009 pukul 04:00 depan gerbang IAIN Sunan Ampel Surabaya.

5. Muhammad Haris
Mohon do’a dan restu menuju HMI KORKOM Sunan Ampel 1. Dan ternyata pada hari rabu 9 desember 2009 sekitar pukul 01.45, MH kalah dalam konstalasi menuju KORKOM Sunan Ampel.



“Semoga bisa mengemban amanah dan tanggung jawab dengan baik. Tetap semangat!!!”




Surabaya; Kamis, 24 Desember 2009

Rabu, 09 September 2009

Menuju KORKOM SA 1

Bismillahirrahmaanirrahiim.....

Muhammad Haris, salah satu kader HMI Komisariat akan menuju menjadi Ketua Umum KORKOM HMI Sunan Ampel periode 2009-2010 pada hari Jum'at, 11 September 2009 di Graha Insan Cita (GIC) Sunan Ampel.
Mohon keluasan hati, do'a & restu dari semuanya. Orang tua di Pangandaran, MasQ se-keluarga, Adik-AdikQ serta kawan-kawan seperjuangan; Muhammad Khalil, Ubaidillah Mahmud, Moh. Faid Walhakim, Irsyadul Ibad, Imam Ghozali serta semua kanda&yunda.

Yakin Usaha Sampai (YAKUSA)

Aku pasrah kepada-Mu Ya Allah, Tuhan semua makhluk, bumi serta isinya....

Jumat, 28 Agustus 2009

Mengintip Pemandangan Dibalik Program Online*

“Tahun ajaran baru periode 2009-2010 sudah ditabuh. Sistem program online yang baru dilaksanakan tahun ajaran lalu, tahun ini dilanjutkan. Salah satu mahasiswa mencoba menerawang pemandangan dibalik program online tersebut”.

Seolah sudah menjadi pemandangan yang tidak asing lagi. Pemrograman yang sedianya dimulai pada 29 juli hingga 7 agustus 2009 ternyata belum siap. Terbukti pada pada hari pertama pemrograman hanya berdurasi sekitar satu jam saja, dari mulai jam 8 pagi hingga sekitar jam 9. Hal ini pun menjadi tanda tanya besar!!! Kenapa bisa terjadi? Usut punya ujung, konfirmasi ke pihak akademik dilakukan. Hasil dari pada konfirmasi tersebut bahwa pemrograman sementara waktu ditunda, karena ada kunjungan menteri agama, menteri pendidikan dan gubernur Jawa Timur dalam rangka peresmian pesantren mahasiswa IAIN Sunan Ampel Surabaya. Apakah hal tersebut etis? Jelas-jelas sangat tidak etis. Seharusnya pihak akademik tidak bersikap demikian. Karena, seperti yang sudah diketahui bersama bahwa program online pada tanggal tersebut dilaksanakan. Tidak ada sangkut-paut dengan peresmian yang dilaksanakan pihak Rektorat IAIN Sunan Ampel.
Pemandangan lain dalam program online tersebut adalah sistem administrasi ternyata kacau balau. Sebaran jadwal mata kuliah yang seharusnya sudah diupload ternyata belum tertera dalam situs resmi kampus IAIN Sunan Ampel Surabaya. Kondisi ini pun membuat kemalasan berjama’ah untuk memprogram.
Pada hari kedua program online yang dijadwalkan pun masih menuai keresahan tersendiri. Meski pada 30 juli 2009 program online awalnya bisa memberikan ‘lampu hijau’ bagi para mahasiswa-i, ternyata koneksi ke server IAIN pun sangat melambat.
Carut marut yang ada dalam program online tersebut ternyata membuat para civitas akademika menjadi resah. Menjadi mandat tersendiri bahwa pihak akademik Fakultas Tarbiyah (khususnya) harus profesional dalam segala aspek. Karena, mahasiswa adalah raja (harus dilayani).

Terlepas dari uraian penulis dalam mengungkap pemandangan dibalik program online tersebut, penulis menegaskan saran bahwa pihak akademik harus konsisten dalam memberikan dan mengawal kebijakan yang ada.

Hidup mahasiswa!!!

* Penulis adalah mahasiswa Fakultas Tarbiyah PAI/VII, yang belum mempunyai bidadari penyelamat, dan mencoba menjadi Anak Bangsa dalam mengawal negeri Indonesia suatu saat nanti. Penulis berasal dari salah satu desa terpencil diKecamatan Pangandaran.


Pateguhan, 30 Juli 2009

Sabtu, 11 Juli 2009

Kunjungan Ke PMII Kom. Tarbiyah IAIN Sunan Ampel

Sebelum pelepasan jabatan menjadi Sekretaris Umum HMI Komisariat Tarbiyah Sunan Ampel periode 2008-2009, Saya bersama sebagian personalia pengurus berkunjung ke PMII Komisariat Tarbiyah IAIN Sunan Ampel yang beralamat di Jl. Jemur Wonosari Gang Modin Surabaya. Meski ditempat yang sangat sederhana, Saya bersama kawan-kawan merasa senang dan lega setelah sekian lama keinginan berkunjung secara resmi akhirnya terwujud. Dibawah ini salah satu video kunjugan tersebut.

Sabtu, 27 Juni 2009

Berpose bersama dalam acara Follow Up HMI Tarbiyah periode 2007-2008 di Dlundung-Mojokerta pada april 2008. Tanggalnya lupa euy.

Minggu, 15 Maret 2009

PENDIDIKAN ALTERNATIF[1]

Muhammad Haris[2]

Prolog

”Saya ingin cucu saya pintar, karenanya saya larang ia sekolah,” kata Margareet Mead suatu ketika. ”Saya tahu sekolah telah mati (school is dead),” gerutu Everett Riemer. ”Masyarakat bebas sekolah,” tulis Ivan Illich dalam buku termasyhurnya. “Sekolah itu candu,” ungkap Roem Tomatipatang. Dan ”Orang Miskin dilarang sekolah,” sindir Eko Prasetyo.

Ungkapan pedas diatas merupakan kritik terhadap proses dan sistem pendidikan di Indonesia yang selama ini manipulatif diterapkan penguasa. Pendidikan tidak lagi menghantarkan seseorang menjadi self confidence dalam kehidupan sehari-hari. Institusi pendidikan belum bisa menjadi wadah bagi aktualisasi diri, membuka cakrawala, kebebasan berfikir dan sederet perihal yang dibutuhkan seseorang di sekolah.

Memang secara kolektif apabila difamahi pendidikan merupakan basic need bagi seluruh manusia. Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa setiap orang membutuhkan pendidikan. Tentunya demi masa depan yang lebih terarah, dewasa dan survive dalam mengarungi kehidupan yang semakin keras.

Dunia pendidikan di Indonesia hingga kini masih saja diselimuti berbagai kebijakan-kebijakan penguasa yang tidak mencerminkan salah satu amanat UUD ’45 ”mencerdaskan kehidupan bangsa”. Satu sisi para praktisi pendidikan sudah sangat faham akan problem pendidikan saat ini. Sisi lain, ternyata realitas membuktikan bahwa semangat revolusi-inovatif dalam mereduksi problematika pendidikan tidak ada sama sekali. Bukan lantas berpretensi melakukan pembenahan. Melainkan para praktisi pendidikan lebih berbuat demi kepentingan individualisme.

Kemudian, jika penulis bertanya ”mau dibawa kemana arah pendidikan kita?” ”Apakah lantas kita diam, sambil menunggu datang perubahan tanpa berbuat sesuatu!” Tentu tidak! Sudah saatnya Indonesia bangkit dari berbagai keterpurukan, demi kemaslahatan bangsa dan negara.

Seperti yang kita ketahui Indonesia sudah berusia 63 tahun, 100 tahun kebangkitan nasional dan 8 tahun reformasi telah bergulir. Kita harus berani katakan sudah saatnya kita keluar dari kemalasan kolektif, progresif serta integral dengan semangat juang demi Indonesia yang mandiri di tengah-tengah keterpurukan serta cengkraman globalisasi.

Desentralisasi Setengah Hati…

Seperti yang pernah diungkapkan oleh Benny Susetyo (2005) kebijakan otonomi daerah melalui paket UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999 dirasa merupakan desentralisasi setengah hati. Betapa tidak, antara kewenangan pusat dan daerah terjadi tarik menarik. Kita merasakan adanya ketidakpuasan pusat yang menyerahkan kewenangannya kepada daerah. Di sisi lain, kita juga merasakan adanya ketidaksiapan baik secara kelembagaan maupun secara pelaksanaan di daerah.

Otonomi daerah seharusnya secara otomatis membawa ‘angin segar’ bagi para penguasa di daerah untuk melakukan perubahan, manajemen SDM dan SDA yang sekiranya bisa dikembangkan. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa otonomi daerah sendiri dikeluarkan untuk memberikan ruang gerak daerah dalam memberdayakan dan mengembakan segala potensi yang ada. Ternyata di lapangan tidak! Mentalitas korupsi yang tadinya hanya terungkap di pusat, akhirnya merambah secara brutal di daerah dan menjadi public virus.

Lantas, bagaimana dengan desentralisasi pendidikan kita? Disatu sisi bahwa pemerintah sangat mengharap partisipasi masyarakat dalam mewujudkan desentralisasi pendidikan. Sisi lain, ternyata Ujian Akhir Nasional (UAN) menjadi salah satu parameter yang sungguh-sungguh merupakan sentralistis. Hal ini merupakan point yang jelas-jelas merupakan desentralisasi setengah hati.

Perlunya Pendidikan Alternatif

Menurut Susetyo (2005) dunia pndidikan di Indonesia menghadapi tiga tantangan besar. Tantangan tersebut adalah: pertama, dunia pendidikan dituntuk untuk dapat mempertahankan hasil-hasil pembangunan pendidikan yang telah dicapai. Kedua, untuk mengantisipasi era global dunia pendidikan dituntut untuk mempersiapkan SDM yang kompeten agar mampu bersaing dalam pasar kerja global. Ketiga, sejalan dengan diberlakukannya otonomi daerah, perlu dilakukan perubahan dan penyesuaian sistem pendidikan nasional sehingga dapat mewujudkan program pendidikan yang lebih demokratis.

Sebenarnya, para praktisi pendidikan, dosen, guru, pemerhati pendidikan, sudah sangat faham akan segala seluk beluk pendidikan Indonesia saat ini. Tetapi, mereka masih ‘jalan ditempat’ untuk tidak memberikan problem solving yang setidaknya meminimalisir.

Seperti yang diungkapkan Paulo Freire (1985) dalam formulasi pendidikannya dalam ”Pendidikan Kaum Tertindas” mengemukakan bahwa konsep pendidikan yang ditawarkan merupakan sebuah sistem pendidikan yang ditempa dan dibangun kembali bersama dengan, dan bukan diperuntukkan bagi, kaum tertindas. Sistem pendidikan pembaharu ini, kata Freire, adalah pendidikan untuk pembebasan—bukan untuk penguasaan (dominasi).

Pendidikan harus menjadi proses pemerdekaan, bukan penjinakkan sosial-budaya (social and cultural domestication). Pendidikan bertujuan menggarap realitas manusia dan, karena itu secara metodologis bertumpu diatas prinsip-prinsip aksi dan refleksi total- yakni prinsip bertindak untuk merubah kenyataan yang menindas dan pada sisi simultan lainnya secara terus-menerus menumbuhkan kesadaran akan realitas dan hasrat untuk merubah kenyataan yang menindas tersebut.

Dehumanisasi adalah bentuk ungkapan nyata dari proses alienasi dan dominasi; sedangkan pendidikan yang humanis adalah proyek utopia (dalam arti yang positif) untuk kaum tertindas dan terjajah. Jelas keduanya mengimplikasikan sebuah aksi yang dilakukan oleh mereka sendiri dalam kehidupan sosial untuk melanggengkan status quo.

Dalam hal ini, penulis sangat prihatin melihat keadaan real pendidikan di Indonesia yang seperti ini. Suatu saat setelah lulus dari dunia akademisi (IAIN Sunan Ampel) ini, penulis ingin membangun ‘Pendidikan Alternatif’ di daerah penulis sendiri. SDA yang memadai, insyaallah bisa mendukung terselenggaranya ‘Pendidikan Alternatif’ tersebut. Memang, tidak semudah membalik tangan untuk membangun lembaga tersebut. Namun, penulis sangat yakin suatu saat pasti ada jalan keluar untuk mewujudkan ‘Pendidikan Alternatif’, dengan prinsip; sudah saatnya pendidikan milik semua (bukan borjuis saja), proletar pun butuh pendidikan. Semoga suatu saat bisa terwujud. Aminn

Penutup

Demikianlah yang bisa penulis uraikan dalam goresan kertas. Penulis hanya bisa berharap pada seluruh penguasa di Senayan mendengarkan suara-suara rakyat dan merealisasikan suara-suara tersebut, khususnya suara ‘Pendidikan Gratis’.

Surabaya, 3-4 September 2008



[1] Essai diajukan untuk memenuhi persyaratan beasiswa DJARUM BAKTI PENDIDIKAN

[2] Mahasiswa aktif Fakultas Tarbiyah Jurusan PAI SMT V IAIN Sunan Ampel Surabaya dan aktif di HMI Cabang Surabaya Komisariat Tarbiyah Sunan Ampel