Minggu, 15 Maret 2009

PENDIDIKAN ALTERNATIF[1]

Muhammad Haris[2]

Prolog

”Saya ingin cucu saya pintar, karenanya saya larang ia sekolah,” kata Margareet Mead suatu ketika. ”Saya tahu sekolah telah mati (school is dead),” gerutu Everett Riemer. ”Masyarakat bebas sekolah,” tulis Ivan Illich dalam buku termasyhurnya. “Sekolah itu candu,” ungkap Roem Tomatipatang. Dan ”Orang Miskin dilarang sekolah,” sindir Eko Prasetyo.

Ungkapan pedas diatas merupakan kritik terhadap proses dan sistem pendidikan di Indonesia yang selama ini manipulatif diterapkan penguasa. Pendidikan tidak lagi menghantarkan seseorang menjadi self confidence dalam kehidupan sehari-hari. Institusi pendidikan belum bisa menjadi wadah bagi aktualisasi diri, membuka cakrawala, kebebasan berfikir dan sederet perihal yang dibutuhkan seseorang di sekolah.

Memang secara kolektif apabila difamahi pendidikan merupakan basic need bagi seluruh manusia. Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa setiap orang membutuhkan pendidikan. Tentunya demi masa depan yang lebih terarah, dewasa dan survive dalam mengarungi kehidupan yang semakin keras.

Dunia pendidikan di Indonesia hingga kini masih saja diselimuti berbagai kebijakan-kebijakan penguasa yang tidak mencerminkan salah satu amanat UUD ’45 ”mencerdaskan kehidupan bangsa”. Satu sisi para praktisi pendidikan sudah sangat faham akan problem pendidikan saat ini. Sisi lain, ternyata realitas membuktikan bahwa semangat revolusi-inovatif dalam mereduksi problematika pendidikan tidak ada sama sekali. Bukan lantas berpretensi melakukan pembenahan. Melainkan para praktisi pendidikan lebih berbuat demi kepentingan individualisme.

Kemudian, jika penulis bertanya ”mau dibawa kemana arah pendidikan kita?” ”Apakah lantas kita diam, sambil menunggu datang perubahan tanpa berbuat sesuatu!” Tentu tidak! Sudah saatnya Indonesia bangkit dari berbagai keterpurukan, demi kemaslahatan bangsa dan negara.

Seperti yang kita ketahui Indonesia sudah berusia 63 tahun, 100 tahun kebangkitan nasional dan 8 tahun reformasi telah bergulir. Kita harus berani katakan sudah saatnya kita keluar dari kemalasan kolektif, progresif serta integral dengan semangat juang demi Indonesia yang mandiri di tengah-tengah keterpurukan serta cengkraman globalisasi.

Desentralisasi Setengah Hati…

Seperti yang pernah diungkapkan oleh Benny Susetyo (2005) kebijakan otonomi daerah melalui paket UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999 dirasa merupakan desentralisasi setengah hati. Betapa tidak, antara kewenangan pusat dan daerah terjadi tarik menarik. Kita merasakan adanya ketidakpuasan pusat yang menyerahkan kewenangannya kepada daerah. Di sisi lain, kita juga merasakan adanya ketidaksiapan baik secara kelembagaan maupun secara pelaksanaan di daerah.

Otonomi daerah seharusnya secara otomatis membawa ‘angin segar’ bagi para penguasa di daerah untuk melakukan perubahan, manajemen SDM dan SDA yang sekiranya bisa dikembangkan. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa otonomi daerah sendiri dikeluarkan untuk memberikan ruang gerak daerah dalam memberdayakan dan mengembakan segala potensi yang ada. Ternyata di lapangan tidak! Mentalitas korupsi yang tadinya hanya terungkap di pusat, akhirnya merambah secara brutal di daerah dan menjadi public virus.

Lantas, bagaimana dengan desentralisasi pendidikan kita? Disatu sisi bahwa pemerintah sangat mengharap partisipasi masyarakat dalam mewujudkan desentralisasi pendidikan. Sisi lain, ternyata Ujian Akhir Nasional (UAN) menjadi salah satu parameter yang sungguh-sungguh merupakan sentralistis. Hal ini merupakan point yang jelas-jelas merupakan desentralisasi setengah hati.

Perlunya Pendidikan Alternatif

Menurut Susetyo (2005) dunia pndidikan di Indonesia menghadapi tiga tantangan besar. Tantangan tersebut adalah: pertama, dunia pendidikan dituntuk untuk dapat mempertahankan hasil-hasil pembangunan pendidikan yang telah dicapai. Kedua, untuk mengantisipasi era global dunia pendidikan dituntut untuk mempersiapkan SDM yang kompeten agar mampu bersaing dalam pasar kerja global. Ketiga, sejalan dengan diberlakukannya otonomi daerah, perlu dilakukan perubahan dan penyesuaian sistem pendidikan nasional sehingga dapat mewujudkan program pendidikan yang lebih demokratis.

Sebenarnya, para praktisi pendidikan, dosen, guru, pemerhati pendidikan, sudah sangat faham akan segala seluk beluk pendidikan Indonesia saat ini. Tetapi, mereka masih ‘jalan ditempat’ untuk tidak memberikan problem solving yang setidaknya meminimalisir.

Seperti yang diungkapkan Paulo Freire (1985) dalam formulasi pendidikannya dalam ”Pendidikan Kaum Tertindas” mengemukakan bahwa konsep pendidikan yang ditawarkan merupakan sebuah sistem pendidikan yang ditempa dan dibangun kembali bersama dengan, dan bukan diperuntukkan bagi, kaum tertindas. Sistem pendidikan pembaharu ini, kata Freire, adalah pendidikan untuk pembebasan—bukan untuk penguasaan (dominasi).

Pendidikan harus menjadi proses pemerdekaan, bukan penjinakkan sosial-budaya (social and cultural domestication). Pendidikan bertujuan menggarap realitas manusia dan, karena itu secara metodologis bertumpu diatas prinsip-prinsip aksi dan refleksi total- yakni prinsip bertindak untuk merubah kenyataan yang menindas dan pada sisi simultan lainnya secara terus-menerus menumbuhkan kesadaran akan realitas dan hasrat untuk merubah kenyataan yang menindas tersebut.

Dehumanisasi adalah bentuk ungkapan nyata dari proses alienasi dan dominasi; sedangkan pendidikan yang humanis adalah proyek utopia (dalam arti yang positif) untuk kaum tertindas dan terjajah. Jelas keduanya mengimplikasikan sebuah aksi yang dilakukan oleh mereka sendiri dalam kehidupan sosial untuk melanggengkan status quo.

Dalam hal ini, penulis sangat prihatin melihat keadaan real pendidikan di Indonesia yang seperti ini. Suatu saat setelah lulus dari dunia akademisi (IAIN Sunan Ampel) ini, penulis ingin membangun ‘Pendidikan Alternatif’ di daerah penulis sendiri. SDA yang memadai, insyaallah bisa mendukung terselenggaranya ‘Pendidikan Alternatif’ tersebut. Memang, tidak semudah membalik tangan untuk membangun lembaga tersebut. Namun, penulis sangat yakin suatu saat pasti ada jalan keluar untuk mewujudkan ‘Pendidikan Alternatif’, dengan prinsip; sudah saatnya pendidikan milik semua (bukan borjuis saja), proletar pun butuh pendidikan. Semoga suatu saat bisa terwujud. Aminn

Penutup

Demikianlah yang bisa penulis uraikan dalam goresan kertas. Penulis hanya bisa berharap pada seluruh penguasa di Senayan mendengarkan suara-suara rakyat dan merealisasikan suara-suara tersebut, khususnya suara ‘Pendidikan Gratis’.

Surabaya, 3-4 September 2008



[1] Essai diajukan untuk memenuhi persyaratan beasiswa DJARUM BAKTI PENDIDIKAN

[2] Mahasiswa aktif Fakultas Tarbiyah Jurusan PAI SMT V IAIN Sunan Ampel Surabaya dan aktif di HMI Cabang Surabaya Komisariat Tarbiyah Sunan Ampel